Sabtu, 06 Februari 2016

Ghulul, Ketika Korupsi Sebatang Jarum

Kemarin, 9 Desember, merupakan hari Antikorupsi. Hari yang menjadi simbol bahwa Indonesia serius memberantas korupsi. Benarkah? Tak terasa hampir empat belas tahun telah berlalu masa reformasi Indonesia yang menggemakan basmi korupsi, namun kini gaung anti korupsi mulai terasa hilang dan hambar. Bahkan, perilaku korupsi pun sekarang sepertinya sudah dianggap wajar. Penumpasan tindakan korupsi memang tidak mudah, apalagi bila kejahatan tersebut terorganisir. Tetapi bagaimanapun, korupsi harus tetap dilawan karena korupsi merupakan tindakan jahat yang telah merugikan rakyat dan negara.
Kartini Kartono (Patologi Sosial, Grafindo Persada 1997) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Penumpasan korupsi ini tidak sebatas kewajiban pemerintah atau lembaga pembasmi korupsi, tetapi juga harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk tidak berlaku tindakan korupsi. Korupsi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak, busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan, dapat disogok. Mengorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerja. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mengorupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
Jelaslah, bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum Islam, tidak ditemukan istilah korupsi. Namun, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat dilihat pada unsur berikut ini :
Ghulûl adalah isim masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya) (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dan khâna (khianat atau curang).
Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” Kemudian ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Saw bertanya, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Saya mendengar engkau berkata demikian dan demikian,” Beliau Saw pun bersabda, “Aku katakan sekarang, bahwa barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit ataupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya (halal). Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.’” (HR. Muslim) Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar