Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) akan mengeluarkan fatwa agar tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar, di antara yang termasuk pelaku dosa besar itu adalah koruptor. Berita lengkapnya bisa dilihat di http://www.pikiran-rakyat.com/node/119477.
Di sini, saya hanya mengambil dosa besar pelaku korupsi, karena melihat fenomena korupsi yang semakin merajalela di negeri tercinta ini. Penyakit korupsi ini menyerang hampir semua lini pelayanan publik, dari tingkat RT sampai pusat pemerintahan. Bahkan, wakil rakyat yang seharusnya menjadi tangan kanan rakyat, malah menggasab hak rakyat.
Korupsi, merupakan perbuatan melanggar hukum, baik negara maupun agama. Pemerintah sudah menetapkan undang-undang No. 28 Tahun 1999, bahwa penyelenggaraan negara yang bersih dan bebeas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sejumlah undang-undang dan peraturan pencegahan tindak pidana korupsi telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Hal tersebut agar Indonesia bebas dari dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bila membaca atau mendengar berita media, pemberitaan korupsi sudah sangat memprihatinkan. Akarnya seakan sudah menancap di bumi dan sukar untuk dicabut dari dasar kesadaran para penduduk bumi pertiwi. Banyak pejabat pemerintah yang terjerat korupsi. Bahkan, tokoh masyarakat ataupun agama, banyak yang tergoda dengan tindakan korupsi.
Siapa sih yang tidak tergoda dengan uang dan harta kekayaan, sehingga jabatan yang diraih pun menjadi taruhan untuk uang triliyunan. Korupsi yang terus menjadi ajang perbincangan, tanpa ada realisasi hukum dalam menyelesaikan kasus. Sebagai rakyat yang menyaksikan, sungguh sangat menyesakkan dan geregetan dengan pelaku korupsi di pelayanan publik dan penegak hukum.
Fatwa tersebut bisa menjadi sanksi moral bagi koruptor. Rasulullah pernah tidak mau menyalati seseorang yang ikut perang Khaibar. Dalam Kitab Sunan Abu Daud disebutkan bahwa Zaid bin Khalid al-Juhani meriwayatkan bahwa ada seseorang yang ikut perang Khaibar meninggal pada saat perang. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda, “Salatkanlah sahabatmu itu, sedangkan aku sendiri tidak ikut menyalatinya.” Berubahlah wajah orang-orang atas pernyataan Nabi itu. Kemudian beliau bersabda, “Sungguh sahabatmu itu telah berlaku ghulul (korupsi) di jalan Allah.” Para sahabat pun memeriksa barangnya, mereka menemukan perhiasan milik orang Yahudi yang nilainya tidak mencapai dua dirham. (HR. Abu Daud)
Dengan demikian, fatwa ini bukan melarang kaum muslim menyalati seorang muslim yang koruptor, karena fatwa ini nantinya ditujukan kepada pemuka agama dan masyarakat agar tidak menyalati koruptor. Bagaimanapun, menyalati jenazah adalah kewajiban kaum muslim, hukumnya fardhu kifayah, maka jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, semua kaum muslimin berdosa.
Namun, melihat fenomena korupsi sekarang ini yang tidak hanya terjadi pada pejabat pemerintahan, tetapi tokoh masyarakat dan tokoh agama pun tak jarang yang terjerat korupsi. Lalu, bagaimana untuk mengetahui seseorang itu benar-benar koruptor atau bukan?
Wallahu’alam bishshawab
Jakarta, 12 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar