Jumat, 16 September 2016

Sejarah Nabi Muhammad; Kisah Fenomenal Sepanjang Sejarah

Ketika Nabi Muhammad meninggal, Umar bin Khaththab menghunus pedang sambil berteriak menentang berita meninggalnya Nabi Muhammad. Untung saja Abu Bakar datang menemui Umar, lalu Abu Bakar membacakan ayat Al-Qur’an.

 “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]: 144)

Kutipan ayat tersebut menyadarkan Umar bin Khaththab dari kegalauan atas meninggalnya Nabi Muhammad Saw.  Ya, ayat di atas turun ketika berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa Nabi Muhammad Saw mati terbunuh. Berita ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada Abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy).

Sementara itu, orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad itu seorang nabi, tentulah dia tidak akan mati terbunuh. Maka, Allah menurunkan ayat ini untuk menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu.

Tentunya, tiada seorang pun yang tidak merasa sedih bila ditinggal oleh seseorang yang sangat istimewa, apalagi oleh seorang nabi, rasul, sahabat, saudara yang sangat mencintai dan dicintai umatnya. Para sahabat dan tabiin yang semasa dan sezaman dengan Nabi Muhammad, mereka sangat berduka atas meninggal Nabi Muhammad Saw.
Sebagai Muslim yang hidup jauh dari zaman beliau, kita rindu akan dirinya, kesantunan dan kemuliaan akhlaknya. Ya, Nabi Muhammad adalah seorang manusia pilihan yang telah menggetarkan peradaban langit dan bumi, memadukan ketiadaan dan keabadian, mempertemukan kelemahan dan kekuatan, meluruhkan kefakiran dan kekayaan.

Nabi Muhammad Saw adalah seorang rasul sekaligus hamba, seorang nabi sekaligus manusia. Dialah sang kesucian, sang kebajikan dan sang keadilan. Melalui beliau, Allah telah menyelamatkan seluruh makhluk-Nya. Allah membebaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.

Nabi Muhammad juga seorang suri teladan bagi segenap alam, panutan bagi para pencari jalan kebenaran, imam kebajikan, contoh sempurna, penunjuk jalan, dan kiblat bagi hati yang mukmin.

Beliau adalah profil yang betul-betul kita cintai, sosok paling utama bagi kita dan pemimpin terbesar yang pernah kita kenal. Beliau adalah panutan, imam, manusia terbaik dan junjungan. Rasul pembawa petunjuk yang mengajarkan tauhid, menanamkan iman, menjabarkan Islam dan mengajari kita shalat, zakat, haji dan ajaran-ajaran agama lainnya.

Risalah perjalanan hidup Nabi Muhammad merupakan kisah terbesar sepanjang sejarah manusia dan sangat fenomenal. Sebagai Muslim, tentunya kita wajib mengetahui risalah kehidupan beliau, sehingga kemuliaan akhlaknya menjadi contoh teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam-Nya kepada Nabi Muhammad Saw dalam iringan angin yang berhembus, udara yang bertiup, hujan yang menyiram, cahaya yang bersinar, kilat yang berpendar, dan guruh yang menggelegar.


Sumber: Hayatu Muhammad lil athfal wannasi'in (Muhammad Imarah) dan Qishshatu Arrisalah (Aid Al-Qarni)

Sabtu, 06 Februari 2016

Belajar dari Kesalahan

Setiap orang tidak lepas dari kesalahan. Namun,  kesalahan-kesalahan tersebut, hendaknya mengarah pada memperbaiki diri.   Dalam Kitab Riyadushshalihin, Rasulullah bersabda, bahwa pada jaman  dahulu, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 manusia. Sang  laki-laki tersadar akan kesalahannya, lalu ia mencari seorang rahib  (pendeta). Laki-laki tersebut mendatanginya lalu bercerita bahwa dirinya  telah membunuh 99 orang.</span><br /><span>“Masihkah ada pintu taubat untukku?” Tanya Sang lelaki.<br />“Tidak!” Jawab Rahib dengan tegas.<br />Mendengar jawaban itu, laki-laki tersebut membunuhnya. Maka, genaplah jumlah orang yang dibunuhnya menjadi 100 orang.<br />Namun,  laki-laki itu tanpa menyerah tetap mencari orang ‘alim ulama yang  bijaksana. Dia pun ditunjukkanlah pada seorang laki-laki alim.<br />Seperti  pada pertemuan dengan Rahib, laki-laki tersebut menceritakan dirinya  telah membunuh sebanyak 100 jiwa, masihkah ada taubat untuknya?<br />“Ya,  siapakah yang dapat menghalangi antara dirinya dengan taubat?” Jawab  ulama tersebut. “Pergilah ke negeri ini dan itu, karena di sana terdapat  orang-orang yang menyembah Allah Swt. Beribadahlah kepada Allah bersama  mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu itu merupakan  negeri yang buruk!”<br />Laki-laki itu pun berangkat. Ketika menempuh separuh perjalanan, ajal pun menjemputnya.<br />Dalam  proses amal ibadah laki-laki tersebut, terjadilah perselisihan antara  malaikat rahmat dengan malaikat azab. “Siapakah yang lebih berhak  membawa ruhnya?”<br />Perselisihan tersebut karena Malaikat Rahmat  beralasan bahwa orang ini datang dalam keadaan bertaubat dan  menghadapkan hatinya kepada Allah. Sedangkan Malaikat Azab beralasan  bahwa orang ini tidak pernah melakukan kebaikan.<br />Allah Swt  mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk  meyelesaikan masalah itu. Malaikat itu berkata, “Ukurlah jarak antara  kedua negeri/tempat itu (negeri asal dan negeri yang ditujunya), mana  yang lebih dekat, maka ia berhak dengannya.”<br />Para malaikat itu pun  mengukur, lalu mereka menemukan bahwa pembunuh itu lebih dekat ke  negeri (yang berpenduduk orang-orang yang menyembah Allah Swt) yang akan  ditujunya. Maka malaikat rahmatlah yang berhak membawa ruh orang  tersebut.” <b>(Muttafaq ‘Alaih)</b><br /><br />Dari waktu ke waktu kita semua melakukan kesalahan, maka hidup itu pembelajaran untuk terus mengurangi kesalahan.</span></div>

Hadiah, Sebuah Grafitikasi Korupsi

Kata hadiah berasal dari bahasa Arab, hadiyyah, yang berarti hadiah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hadiah adalah pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan), ganjaran (karena memenangkan suatu perlombaan), tanda kenang-kenangan (tt perpisahan). Hadiah dapat juga disebut hibah.Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Nabi Saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik)
Adapun jika memberi hadiah untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad)
Imam Syafi’i (w. 820 M), dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh—melalui atau dari pejabat itu—suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut.
Risywah, istilah lain yang juga merupakan salah satu bentuk korupsi adalah risywah, yang berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya.
Orang yang menyuap disebut al-rusyi yaitu orang yang memberikan sesuatu kepada seseorang yang bisa membantunya atas dasar kebatilan. Adapun orang yang mengambil atau menerima pemberian itu disebut al-murtasyi. Sementara orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerimanya dengan menambahi di suatu sisi dan mengurangi di sisi lain disebut al-ra’isy.
Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang menjadi penghubung di antara keduanya.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 188)
Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan.
Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya.”
Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa (melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan. Khianat adalah tidak menepati amanah. Oleh karena itu, Allah Swt sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya. Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari) 
Sariqah berasal dari kata saraqa yasriqu sarqan wa sariqah yang secara leksikal bermakna akhadza mâ lighairi khufyatan, yang berarti mencuri. Sariqah juga bermakna nahab (merampok), syahshan (menculik), syaian qalîlan (mencuri barang kecil, mencopet), dan muallafan (menjiplak, melakukan plagiat).
Para koruptor telah mencuri harta negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, sedangkan dalam Islam sendiri berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman, karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari)

Ghulul, Ketika Korupsi Sebatang Jarum

Kemarin, 9 Desember, merupakan hari Antikorupsi. Hari yang menjadi simbol bahwa Indonesia serius memberantas korupsi. Benarkah? Tak terasa hampir empat belas tahun telah berlalu masa reformasi Indonesia yang menggemakan basmi korupsi, namun kini gaung anti korupsi mulai terasa hilang dan hambar. Bahkan, perilaku korupsi pun sekarang sepertinya sudah dianggap wajar. Penumpasan tindakan korupsi memang tidak mudah, apalagi bila kejahatan tersebut terorganisir. Tetapi bagaimanapun, korupsi harus tetap dilawan karena korupsi merupakan tindakan jahat yang telah merugikan rakyat dan negara.
Kartini Kartono (Patologi Sosial, Grafindo Persada 1997) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Penumpasan korupsi ini tidak sebatas kewajiban pemerintah atau lembaga pembasmi korupsi, tetapi juga harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk tidak berlaku tindakan korupsi. Korupsi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak, busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan, dapat disogok. Mengorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerja. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mengorupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
Jelaslah, bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum Islam, tidak ditemukan istilah korupsi. Namun, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat dilihat pada unsur berikut ini :
Ghulûl adalah isim masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya) (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dan khâna (khianat atau curang).
Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” Kemudian ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Saw bertanya, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Saya mendengar engkau berkata demikian dan demikian,” Beliau Saw pun bersabda, “Aku katakan sekarang, bahwa barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit ataupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya (halal). Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.’” (HR. Muslim) Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)

Imam Nawawi, Pengikat Ilmu dengan Buku

“<i>Ilmu itu buruan, dan tulisan itu pengikatnya. Maka, ikatlah buruan itu dengan tali yang kuat</i>.” Pribahasa Arab yang saya dengar ketika sekolah dulu menggambarkan betapa pentingnya menulis. Salah satu media karya tulis adalah buku. Buku tidak hanya memperlihatkan pesan dan wacana yang dibangun oleh penulis dalam mengemukakan ide dan pikirannya, tetapi buku juga menawarkan berita (<i>news</i>), ilmu pengetahuan, keterampilan praktis, dan hiburan.

Tidaklah heran bila buku disebut juga sebagai jendela dunia. Karena dengan membaca buku, berarti kita telah berjalan-jalan dengan ide dan pikiran penulis. Bila tulisan sang penulis mampu menggugah dan membangun jiwa sang pembaca, maka tidak heran bila buku tersebut dapat mereformasi peradaban manusia di seluruh dunia. Tidak jarang kita temukan bahwa seseorang berubah, entah dalam paradigma ideologis, sosial atau budaya karena telah membaca suatu buku. Itulah kekuatannya buku.




Namun, seyogyanya dalam membaca buku, kita dapat mengikat bacaan-bacaan tersebut dengan tulisan. Tulisan-tulisan yang tertuang dalam buku untuk turut mengembangkan dan menambah wacana keilmuwan. Maka, mari kita mengikat ilmu kita dengan menuliskannya dalam buku, sehingga dengan buku kita tidak hanya mencari ilmu pengetahuan, tapi ikut juga menebarkannya.

Bagi sebagian Muslim, nama Imam Nawawi sudah tidak asing lagi. Beliau adalah <span lang="IN">ulama besar yang terkenal dengan karya tulisnya. Imam Nawawi memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Damasyqi. Adapun nama Nawawi sendiri diambil dari tempat tinggal beliau, yaitu daerah Nawa, Khauran, Damaskus Selatan. Kota Damaskus ini sekarang menjadi ibu kota negara Suriah.

Beliau juga sering dipanggil Abu Zakaria (ayah Zakaria), dan beliau juga memperoleh gelar <i>Muhyiddin</i> (yang menghidupkan agama). Beliau sosok yang zuhud, wara, sederhana, dan qana’ah. Beliau adalah seorang yang terkenal dengan ibadah dan menulisnya. Karena kecintaannya dalam menulis, tak jarang beliau menghabiskan malam untuk menulis. Beliau pernah menulis, “Aku menulis dengan berbagai hal yang berhubungan dengan tulisan, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Allah telah memberi berkah untuk waktuku.”

Beliau meninggal dalam usia masih muda, yaitu 45 tahun. Lahir tahun 631 H, dan meninggal tahun 676 H. Namun, meskipun meninggal dalam usia yang relatif muda, beliau telah menghasilkan sekitar 40 judul karya tulis, di antaranya:
1. Hadits Arba’in (Kumpulan Hadits).
2. Riyadush shalihin (Kumpulan Hadits).
3. Syarah Shahih Muslim (Hadits Muslim).
4. Syarah Shahih Bukhari (Hadits Bukhari).
5. Minhajuth Thalibin (Fikih).
6. Raudhatuth Thalibin (Fikih).
7. Al Majmu’ (Fikih, ijtihad Imam Nawawi).
8. Tahdzibul Asma’ wal Lughat (Biografi ulama, dan arti dari kata-kata bahasa Arab).
9. At-Tibyan fi adab hamalatil qur’an (Akhlak).
10. Al-Adzkar (Akhlak).
11. Al-Maqashid (Akidah).

Demikianlah biografi singkat Imam Nawawi. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama saya dalam meningkatkan produktifitas belajar dan menulis.

Rasulullah Saw bersabda, “<i>Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara, yaitu: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu</i>.” <b>(HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dzar

Hidup adalah pilihan. Tentunya, setiap pilihan ada konsekuensi yg diambil. Ketika mengambil pilihan yg kita ambil, yakin dan percaya, bahwa pilihan yang kita ambil karena Allah s.w.t.

Sosok Abu Dzar, adalah sahabat Rasulullah yang memilih hidup zuhud. Ia mengamalkan wasiat Rasulullah, yaitu bertakwa, membaca al-Qur'an, berzikir, berjihad, tidak banyak tertawa, mencintai orang miskin, mengatakan kebenaran walau itu pahit, menyampaikan pengetahuan walau sedikit, orang yg berakal adalah orang yg berpikir, bukanlah orang yg wara bila meminta-minta, dan orang yg menghisab dirinya dgn berakhlak baik.

Dalam kemiskinan bukan berarti tidak ada peluang untuk memberi, Abu Dzar selalu bersedekah dan berbagi. Ia mengamalkan sabda Rasulullah untuk berbagi walau hanya dengan kuah sayur. Sebuah cerminan untuk memerhatikan lingkungan sekitar, apakah masih ada yg kelaparan atau memerlukan kebutuhan hidup lainnya.

Kembali pada kisah Abu Dzar, ia pernah berjalan sendirian krn untanya yg lambat sehingga ditinggalkannya untuk menyusul rombongan perang yg dipimpin oleh Rasulullah. Menyaksikan semangat Abu Dzar, Rasulullah bersabda, "Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun dalam sendirian."

Ketika masa khalifah Usman, karena ada perbedaan pendapat Abu Dzar beserta anak dan istrinya dipindahkan ke daerah terpencil. Di sana Abu Dzar meninggal, namun sebelumnya Abu Dzar berpesan kepada istri dan anaknya untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu letakkan jenazahnya di tengah jalan supaya nanti rombongan yg melewati jalan tersebut menyalatkan dan menguburkannya. Dibawalah jenazah tersebut ke jalan, dan lewatlah rombongan Abdullah bin Mas'ud. Ibnu Mas'ud kaget ketika melihat seorang anak dant jenazah, anak itu berkata, "Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah, tolonglah kami untuk menguburkannya."

Ibnu Mas'ud dan rombongan para sahabat pun menguburkannya. Dan Ibnu Mas'ud pun menceritakan hadis tentang perang Tabuk dan Abu Dzar yang berjalan sendirian (seperti hadis di atas) kepada rombongannya.

Wallahu 'alam
*referensi tanbihul ghafilin bab hadis2 Abu Dzar

Ketika Iri

Sifat yang tidak jarang hinggap pada diri manusia, baik secara sengaja maupun tidak. Padahal, sifat iri dapat memotivasi orang berlaku kejam dan keji. Sifat iri biasanya tidak ingin melihat orang lain bahagia, malah kalau orang lain bahagia, dia menjadi merasa menderita. Dalam kamus bahasa Indonesia, iri adalah merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung, dsb). Iri juga bisa dikatakan cemburu, sirik, dan dengki. (sumber: <a href="http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php">http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php</a>)

Sifat iri ini biasanya disertai dengan sifat sombong. Sifat-sifat ini dimiliki oleh Iblis. Iblis dengan sombong menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Ketika Iblis diusir dan dihukum, dia setuju tetapi meminta agar umurnya diperpanjang dan diijinkan agar dapat mengajak anak cucu Adam ikut dengan mereka. Allah mengabulkan permintaan mereka.

Pertumpahan darah pertama akibat sifat iri dalam sejarah manusia adalah ketika Habil dan Qabil, anak-anak Adam berselisih dan berakhir dengan kematian. Qabil tidak setuju dengan keputusan Adam, dan dia merasa iri atas kemenangan Habil, saudaranya, maka dengan kalap ia membunuh Habil.

Kita juga dapat bercermin pada kisah perjalanan Nabi Yusuf. Yusuf dibuang dan dipisahkan dengan ayahnya oleh saudara-saudaranya. Saudara-saudara Yusuf iri terhadap Yusuf karena mereka melihat Yakub, ayah mereka, terlalu mengistimewakan Yusuf. Kecemburuan dan keirian inilah yang membuat mereka sepakat untuk memisahkan Yusuf dari ayah mereka agar kasih sayangnya kembali kepada mereka. Namun, setelah mereka berpisah, saudara-saudara Yusuf malah melihat penderitaan ayahnya yang teramat sangat, sehingga mereka tak sanggup untuk mengobatinya.

Demikianlah, Iblis telah berhasil mengajak anak cucu Adam untuk menemani mereka di neraka. Iblis akan menularkan sifat-sifat tercelanya kepada manusia agar di akhirat kelak ia mendapatkan teman di neraka.

Kembali kita menelusuri perjalanan Qabil, apakah dia bahagia setelah membunuh Habil, saudaranya? Ataukah saudara-saudara Yusuf mendapatkan apa yang mereka inginkan? Ternyata tidak. Mereka hanya mendapat penderitaan. Qabil menyesal dan pergi mengembara dengan mendapat berbagai penderitaan baik fisik maupun batin. Begitu pula dengan saudara-saudara Yusuf, mereka menderita. Berbeda dengan Yusuf, walaupun penuh duri dia terus berjalan dan meraih kesuksesan dan kebahagiaan.

Mungkin, secara sengaja ataupun tidak kadang kita memiliki perasaan iri terhadap seseorang. Maka, bila sifat iri ini hinggap, salah satu yang bisa dilakukan adalah bertaubat atau beristighfar, dan bersegera mengolah pikiran kita agar positif thinking. Jangan biarkan sifat iri terpupuk terus, karena hal ini dapat memunculkan perbuatan tercela. Apa pun yang kita tuai, maka itulah hasil dari apa yang kita tanam.

<i>Wallahu’alam bishshawab</i>